Kamis, 04 Agustus 2016

Mengasihi Seperti Bibi

Tiba-tiba pikiran ini melayang pada memori 13 tahun yang lalu. Seorang wanita yang lebih dari separuh baya usianya. Dia memperkenalkan dirinya padaku, dan akupun melakukan hal yang sama. Dia memintaku memanggilnya Bibi. Kami melakukan komunikasi dua arah dengan baik. Tinta dan kertas menjadi saksinya. Jarak dan waktu membuat kami tidak bisa saling tatap dan menyalurkan Kasih melalui sentuhan antar kulit. Namun, komunikasi yang kami lakukan tidak mengurangi kehangatan yang ingin kami bangun dalam hubungan itu. Gambar diri kami menjadi satu-satunya cara untuk bertemu dan melihat rupa kami masing-masing. Sungguh sebuah perjuangan bagi kami untuk bertemu dan bercerita. Tapi, kami sangat menikmati itu. Lembaran demi lembaran dipenuhi oleh cerita kami yang seakan tak ada habisnya untuk diceritakan. Potret diri kami terbang melewati lautan dan benua. Kami melihat perkembangan yang terjadi pada diri kami masing-masing dari waktu ke waktu. Dia semakin tua dan akupun mulai berkembang dari anak-anak yang bisa dikatakan ingusan menjadi lebih mengerti. Doa demi doa teruntai dari bibirnya. Dukungan demi dukungan menjadi motivasi bagiku untuk berjuang. Kami berdua tahu jelas bahwa hidup yang akan kami jalani hari demi hari tidak menjadi lebih mudah. Perhatian demi perhatian saling bertukar antar kami. Materipun tidak menjadi pertimbangan besar baginya. Pound Sterling demi Pound Sterling digelontorkannya untukku. Tidak ada kesan materialistik yang ia anggap padaku. Harapannya adalah Pound Sterling itu dapat berubah menjadi masa depan cerah seorang anak yang saat itu masih ingusan namun penuh dengan mimpi-mimpi besar yang sepertinya sulit untuk menjadi nyata.
Dia memperkenalkan ku pada dunianya. Dunia yang belum pernah aku temukan sebelumnya. Dunia yang begitu hangat namun tidak terlepas dari yang namanya problematika. Orang-orang yang ada disekitarnya pun tidak luput dari perkenalan denganku. Lagi-lagi kertas dan tinta mengukir cerita demi cerita dengan mereka. Kami sangat menikmati hubungan itu dan cara kami menjalin hubungan.
Hari demi hari, Bulan demi Bulan bahkan tahun demi tahun berlalu dengan cepatnya. Dia semakin menua dan akupun beranjak dewasa. Cerita yang kami bagikan bukan lagi mimpi-mimpi yang ingin diraih, tapi sudah berupa wujud nyata dari mimpi-mimpi yang pernah kami ukir.
Sampai pada satu saat 3 tahun silam ketika kabar itu sampai di telingaku. Dia pergi!!! Ya, untuk selamanya, orang yang dengannya aku berbagi cerita dengan begitu detail harus pergi. Ternyata ucapan Natal yang dia ucapkan adalah berita terakhir yang aku dapat darinya. Ungkapan singkat agar memiliki Natal dan tahun baru yang membahagiakan bersama saudara seiman adalah coretan terakhir yang ia tuliskan untukku.
Sedih memang. Terpukul juga, iya. Tapi, satu hal yang dipelajari dari kehidupannya adalah KASIH.  Dia mengajarkan kasih yang begitu luar biasa padaku. Bukan hanya mengajarkan, tapi dia menjadi teladan Kasih itu sendiri. Tanpa harus mengenal lebih dalam dan tatap muka, dia mampu menunjukkan Kasih tanpa syarat itu. Dia begitu menghidupi Kasih yang Tuhan Yesus ajarkan.
Akhirnya aku menyadari bahwa Kasih bukan hanya berupa materi yang kita berikan, tapi lebih dari itu yaitu doa yang tulus dan perhatian serta dukungan  yang diberikan kepada orang-orang yang kita kenal dengan baik ataupun tidak kita kenal sama sekali.
Sampai pada akhir hidupnya, hampir semua impian kami terwujud, kecuali satu mimpi yang tidak akan pernah terwujud yaitu "Bertemu".
Dia memang sudah pergi, tapi dia selalu ada dalam hati dan setiap doaku.
Meneladani kasihnya adalah salah satu cara membuatnya tetap hidup dan dekat denganku.
Trimakasih sponsorku, Bibi Barbara Spanner 😘